Asy-syariah : Larangan Membujang Ala Nasrani

Darussalam Wonogiri
0


**al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah**


    Pernah datang tiga orang sahabat ke rumah Rasulullah ﷺ untuk bertanya kepada istri beliau ﷺ tentang ibadah beliau ﷺ saat di dalam rumah. Ketika diberitakan tentang amalan Rasulullah ﷺ, mereka menganggapnya sedikit. Sebab, ternyata beliau ﷺ tidak selamanya berpuasa. Beliau ﷺ juga tidak shalat malam sepanjang malam karena beliau juga tidur. Beliau ﷺ pun memiliki banyak istri.


    Hanya saja, ketiga orang sahabat tersebut menyadari bahwa sekalipun ibadah Rasulullah ﷺ tidak sebanyak yang mereka bayangkan, namun beliau tidak seperti mereka maupun manusia lain. Beliau ﷺ telah diampuni dosa-dosanya yang sudah lewat maupun yang akan datang. Mereka kemudian memantapkan hati untuk melakukan ibadah lebih daripada yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ.


Salah seorang dari mereka berkata, “Aku akan shalat malam selamanya (tidak tidur di waktu malam).”

Yang lain berkata, “Aku akan puasa sepanjang masa dan tidak pernah berbuka (selalu puasa di waktu siang).”

Yang terakhir berkata, “Aku akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah selamanya.”

Saat Rasulullah ﷺ datang, diberitakanlah rencana ketiga orang tersebut. Rasulullah ﷺ lalu bertanya kepada mereka, “Apakah kalian yang mengatakan ini dan itu?”

“Ya,” jawab ketiganya.

Apakah Rasulullah menyetujui keinginan dan niat baik mereka tersebut?


Ternyata tidak. Rasulullah ﷺ justru memperingatkan mereka, karena yang ingin mereka lakukan tersebut menyelisihi sunnah beliau. Kata beliau ﷺ,


“Demi Allah! Aku ini adalah orang yang paling takut kepada Allah dibandingkan kalian dan paling bertakwa kepada-Nya. Namun, aku berpuasa dan berbuka (tidak puasa), aku shalat malam dan juga tidur, dan aku menikahi banyak perempuan. Barang siapa membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaqun ‘alaih)


Niat baik ternyata tidak selamanya dianggap sebagai kebaikan menurut pandangan syariat. Beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ tidaklah memakai perasaan, tetapi harus merujuk kepada bimbingan Rasulullah ﷺ.


Salah satu yang dilarang dalam syariat adalah hidup membujang, tidak mau menikah dengan alasan ingin fokus beribadah kepada Allah ﷻ.


Hadits di atas dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Kitab an-Nikah dari kitab Shahih-nya, di bawah bab “at-Targhib fi an-Nikah”, artinya anjuran dan dorongan untuk menikah (hadits ke-5063).


Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Rasulullah ﷺ memerintah kami untuk menikah dan melarang keras kami melakukan tabattul. Beliau bersabda, ‘Nikahilah perempuan yang subur rahimnya lagi penyayang. Sebab, sungguh aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di hadapan para nabi pada hari kiamat kelak.’” (HR. Ahmad, dll. Hadits ini memiliki banyak syahid/pendukung sehingga hadits ini sahih. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan sahih dalam Irwaul Ghalil, no. 1784)


Tentang makna tabattul dalam hadits di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan, “Tabattul adalah tidak mau menikah dan berbagai kelezatan yang menyertainya karena ingin fokus beribadah.” (Fathul Bari, 9/148)


Tidak menikah dan hidup membujang agar dapat fokus beribadah kepada Allah ﷻ, lantas tinggal di rumah-rumah ibadah, sesungguhnya merupakan kebid’ahan yang dibuat oleh orang-orang Nasrani. Mereka menyebutnya rahbaniyah (kerahiban: tidak menikah, tinggal dalam biara/gereja untuk beribadah). Tentang hal ini Allah ﷻ berfirman,


“...lalu Kami iringkan (pula) di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam, dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Mereka sendirilah yang mengada-adakannya untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.” (al-Hadid: 27)


Makna “lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa mereka tidak menunaikan dengan sebenar-benar penunaian terhadap sesuatu yang mereka tetapkan sendiri. Ini adalah celaan terhadap mereka (umat Nasrani) dari dua sisi:

1. membuat bid’ah dalam agama Allah yang Allah tidak perintahkan,

2. mereka tidak menunaikan dengan sebenar-benarnya sesuatu yang mereka tetapkan sendiri dan mereka anggap dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah ﷻ. (Tafsir al-Quranil ‘Azhim, 7/23)


Umat Rasulullah ﷺ dilarang mengikuti dan bertasyabbuh (meniru) umat terdahulu, Yahudi dan Nasrani. Termasuk dalam hal hidup tanpa menikah dengan alasan tidak mau tersibukkan oleh urusan dunia. Padahal menikah adalah sunnah Rasulullah ﷺ dan termasuk kebaikan. Allah ﷻ berfirman,

“Janganlah kalian mengharamkan hal-hal yang baik yang Allah halalkan untuk kalian dan janganlah kalian melampaui batas…” (al-Maidah: 87)


Sabda Nabi ﷺ dalam hadits pertama di atas, “Barang siapa membenci sunnahku, dia bukanlah termasuk golonganku,” al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan bahwa maksudnya adalah siapa yang meninggalkan jalanku lalu menempuh selain jalanku, maka dia bukan dariku.


Dengan sabdanya ini, Rasulullah ﷺ memberi isyarat tentang jalan rahbaniyah (jalan para ahli ibadah dari pemeluk nasrani), yang membuat-buat bid’ah tersebut, sebagaimana yang Allah ﷻ sebutkan dalam al-Qur’an. Allah ﷻ mencela mereka karena ternyata mereka tidak menunaikan hal yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri.


Sementara itu, jalan Rasulullah ﷺ adalah ajaran yang hanif (lurus), samhah (penuh pemaafan dan kemudahan). Beliau ﷺ berbuka (tidak setiap siang berpuasa) agar kuat melakukan ibadah puasa di hari lain. Beliau ﷺ tidur di waktu malam (tidak sepanjang malam terjaga) agar kuat melakukan qiyamul lail di sebagian waktu malam. Beliau ﷺ menikah untuk memenuhi tuntutan syahwat, menjaga iffah (kehormatan), dan memperbanyak keturunan. (Fathul Bari, 9/133)


Dalam kitab Shahih-nya, al-Imam al-Bukhari membuat sebuah bab dalam “Kitab an-Nikah” dengan judul bab “Ma Yukrahu min at-Tabattul wal Khisha’” (Bab Tabattul dan Kebiri yang Dibenci). Bab ini memberi isyarat bahwa tabattul yang dibenci dan dilarang adalah yang mengantarkan pada sikap berlebih-lebihan dan pengharaman sesuatu yang dihalalkan oleh Allah ﷻ. (Fathul Bari, 9/138)


Rasulullah ﷺ melarang sahabat yang bernama Utsman bin Mazh’un yang ingin hidup membujang. (HR. al-Bukhari dan Muslim)


Asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Bassam menyebutkan beberapa faedah dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas, di antaranya:

1.  Penetap syariat yang Maha Memiliki Hikmah memerintahkan untuk menikah karena mengandung maslahat yang besar dan manfaat yang banyak. Hukum asal perintah adalah wajib.

    Ulama mengatakan bahwa jika seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perbuatan keji/zina, dia wajib menikah untuk menjaga kemaluan dan menundukkan pandangannya.

    Namun, jika dia tidak mengkhawatirkan dirinya, hukum menikah baginya adalah sunnah. Bahkan, menikah adalah ibadah sunnah yang paling afdal karena mengandung maslahat yang besar dan banyak.

2.  Membujang, tidak mau menikah karena ingin fokus beribadah adalah dilarang.

    Larangan memberikan konsekuensi keharaman hal yang dilarang tersebut. Terlebih lagi larangan pembujang sangat ditekankan karena menyelisihi sunnah para rasul. Allah ﷻ berfirman,

    “Sungguh, Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan mereka memiliki istri-istri dan keturunan.” (ar-Ra’d: 38)

    Membujang mengandung penolakan terhadap kehendak Allah ﷻ secara kauni untuk memakmurkan alam ini dengan manusia yang banyak.

3.  Islam adalah agama yang samhah dan mudah.

    Islam membenci sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam seluruh urusan. Islam memerintahkan untuk bersikap pertengahan agar manusia dapat menunaikan seluruh amalan yang diperintahkan.

    Adapun tabattul (membujang) adalah syariat Nasrani. Nabi ﷺ melarang umatnya melakukan tabattul agar dihasilkan banyak keturunan melalui pernikahan yang syar’i dan memperbanyak jumlah kaum muslimin. Dengan demikian, jihad melawan orang kafir tetap bisa ditegakkan dan tetap langgeng.

4.  Allah ﷻ mencela orang-orang Nasrani dalam surah al-Hadid ayat 27, yang maknanya, “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka.”

    Allah ﷻ tidak mensyariatkan dan memerintahkan rahbaniyah mereka, tetapi mereka sendiri membuatnya karena sikap ghuluw (berlebih-lebihan/ melampaui batas) dalam hal ibadah. Orang Nasrani membebani diri mereka sendiri dalam berbagai kesulitan dengan mengharamkan diri dari makanan dan minuman tertentu, serta tidak menikah.

5.  Anjuran untuk menikahi perempuan yang subur rahimnya agar dapat melahirkan keturunan bagi kaum muslimin dan memperbanyak jumlah kaum muslimin.

    Dengan sebab itu, kaum muslimin memiliki kekuatan untuk menghadapi musuh-musuh Allah ﷻ. Kaum muslimin dapat memakmurkan bumi, mengambil kebaikan-kebaikannya, dan mengeluarkan perbendaharaan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, kehendak Allah ﷻ agar bumi dinakmurkan dapat dilaksanakan.

6.  Di antara faedah banyaknya keturunan adalah mewujudkan kebanggaan Nabi ﷺ akan banyaknya umat beliau di hadapan para nabi pada hari kiamat kelak.

    Ini adalah kebanggaan yang sesungguhnya. Allah ﷻ memberikan pertolongan terhadap risalah beliau, dakwah beliau, dan menangkan agama beliau di atas semua agama. Jadilah umat beliau sebagai umat terbesar, paling afdal, dan pengikut yang terbaik.

7.  Islam adalah agama yang dinamis, penuh gerak, dan amal; bukan agama uzlah/mengucilkan diri, menyepi, dan menjauh dari kehidupan manusia.

    Dengan catatan, seseorang tidak menjadikan urusan dunia sebagai prioritas utama dan mengalahkan urusan akhirat yang semestinya senantiasa dinomorsatukan. Demikian pula, urusan dunia itu ditujukan untuk ketinggian dan kemuliaan islam serta memberikan kemanfaatan kepada hamba-hamba Allah ﷻ.

    Islam mengurusi agama dan dunia. Islam tidak hanya terbatas pada ibadah, tetapi mengurus semua aturan hidup. Selain itu, jika pekerjaan dunia dan rutinitasnya diniatkan untuk kemaslahatan umum dan khusus, dapat bernilai ibadah.

8.  Bersegera dan berlomba-lomba mengerjakan kebaikan tidak teranggap riya yang tercela, selama seorang hamba bertujuan menginginkan wajah Allah ﷻ dan negeri akhirat.

9.  Disenanginya seorang hamba mengutamakan dirinya untuk melakukan kebaikan dan berupaya melampaui teman sejawatnya dalam hal kebaikan.

    Allah ﷻ berfirman,

    “Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan….” (al-Mukminun: 61)

    “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia….” (Ali ‘Imran: 110)

    “Bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi….” (al-Hadid: 21)

    (Taudhihul Ahkam, 5/221–223)


Wallahu ta'ala a'lam bish-shawab.


**Disadur dari Majalah Asy-Syari'ah, Vol. XI/No. 120/439 H/2017 M, hlm. 1-4, dengan penyesuaian seperlunya.**

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)